HUMAH BAGHI RUMAH PANGGUNG SUKU BESEMAH
Berkunjung ke Kota Pagar Alam, Sumatera
Selatan, belum lengkap jika tidak menyinggahi salah satu rumah
tradisional (baghi) suku Besemah. Selain desain arsitektur yang
menarik, fisik bangunan yang usianya ratusan tahun itu mengundang
kekaguman bagaimana rumah tersebut dibangun.
Hal itu terutama bila melihat 15 buah
tiang kayu penyangga bangunan berukuran 30 sentimeter x 30 sentimeter,
enam tiang penyangga teras rumah berbentuk bulat dengan diameter
sekitar 60 sentimeter, dan papan kayu rumah dengan ketebalan sekitar 5
sentimeter. Kita pasti akan bertanya-tanya, bagaimana orang-orang
pada masa lalu mengangkut kayu-kayu raksasa tersebut dari dalam hutan.
Oleh karena itu, tak salah jika
Pemerintah Kota Pagar Alam memasukkan rumah-rumah tradisional Besemah
sebagai obyek wisata, selain benda-benda megalitikum dan wisata alam
Gunung Dempo. Jumlah baghi besemah memang tidak banyak karena hanya
orang-orang yang memiliki strata sosial tinggi dan punya banyak uang
yang mampu membangun rumah tersebut.
”Biaya ukir rumah bisa mencapai
sepertiga dari biaya total pembangunan rumah,” kata pemilik baghi
besemah, Musa Akib (69), di Kelurahan Pagar Wangi, Dempo Utara, Pagar
Alam.
Mengenai bagaimana kayu dikumpulkan,
Musa mengatakan kisah pembangunan rumahnya mengandung cerita mistis.
Konon saat rumah akan dibangun, warga di sekitarnya dilarang keluar
rumah pada malam hari karena akan ada pengiriman kayu. Setelah itu,
keesokan paginya, kayu-kayu tiang yang dibutuhkan sudah ada di lahan
pembangunan rumah.
Musa adalah generasi kelima pemilik
baghi tersebut. Rumah yang terletak di tengah sawah itu diperkirakan
berumur lebih dari 200 tahun. Namun, rumah yang sudah tak dihuni itu
masih terlihat kokoh. Warna hitam kayu juga terlihat masih baru dan
alami, tanpa dicat. Dulu, atap rumah terbuat dari daun ijuk.
Bagian dalam rumah baghi tidak memiliki
sekat sama sekali. Bagian inti rumah berukuran 8 meter x 8 meter.
Ruang ini berfungsi sebagai ruang keluarga, ruang tidur, sekaligus
tempat menerima tamu.
Ukiran
Ketua Lembaga Adat Besemah Haji Akhmad
Amran mengatakan, rumah baghi yang diukir disebut sebagai rumah
tatahan (ukiran), sementara rumah yang tak diukir disebut rumah
gilapan. Kualitas kayu rumah yang diukir juga jauh lebih baik
dibandingkan dengan rumah yang tak memiliki ukiran.
”Bentuk kedua rumah itu sama. Hanya
ada tidaknya ukiran yang membedakan karena keberadaan ukiran merupakan
cerminan status sosial pemilik rumah yang tinggi,” katanya.
Dalam motif ukiran juga terkandung doa
dan harapan. Motif bunga dalam posisi vertikal merupakan pengharapan
bahwa rezeki pemilik rumah akan terus naik. Sementara motif bunga
horizontal menjadi perlambang persatuan dan gotong royong.
Motif ukir lain yang unik adalah
bubulan yang berbentuk lingkaran. Motif ukir yang biasanya terletak di
dinding samping rumah itu merupakan simbol persatuan yang kuat di
antara sesama penghuni rumah. Bagian tengah bubulan umumnya terdapat
lubang yang digunakan sebagai tempat mengintip penghuni rumah terhadap
kondisi dan suasana di luar rumah.
Musa mengaku, sejumlah orang telah
menawar untuk membeli rumahnya, tetapi dia tidak akan pernah tertarik
berapa pun harga yang ditawarkan. Sikap Musa mewakili banyak orang
Pagar Alam yang menganggap tempat tinggal sebagai tempat bersatunya
keluarga untuk tumbuh lebih maju, seperti falsafah hidup dari setiap
ukiran yang ada di dinding baghi besemah.